Senin, 29 Februari 2016

Hikmah Berdiam

Sebagai ibadah tanpa bersusah payah. Menjadi perhiasan tanpa berhias. Memiliki kehebatan tanpa kerajaan. Membina benteng tanpa pagar. Mempunyai kekayaan budi tanpa meminta maaf kepada orang. Memberi istirehat bagi kedua Malaikat pencatat amal. Menutupi segala aib dan masalah.

Antara hadis mengenai kelebihan diam diriwayatkan oleh Abu Nuaim di dalam Hilyat al-Auliya:
وَمَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ كَثُرُ سَقَطُهُ، وَمَنْ كَثُرَ سَقَطُهُ كَثُرَتْ خَطَايَاهُ، وَمَنْ كَثُرَتْ خَطَايَاهُ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Dan siapa yang banyak perkataannya nescaya banyaklah silapnya. Siapa yang banyak silapnya, nescaya banyaklah salah (dosanya). Siapa yang banyak berlaku salah, neraka lebih utama baginya.” (al-Iraqi menyebut bahawa hadis ini dhaif)
Bersikap diam juga suatu kebijaksanaan dan keadilan, ilmu dan pengetahuan, bahkan merupakan akhlak yang mampu mendidik masyarakat awam daripada terjerumus ke dalam lembah kekeliruan yang lebih parah. Rasulullah saw pernah menyatakan kepada Abu Zar ra:
عَلَيْكَ بِطُولِ الصَّمْتِ فَإِنَّهُ مَطْرَدَةٌ لِلشَّيْطَانِ، وَعَوْنٌ لَكَ عَلَى أَمْرِ دِينِكَ
“Hendaknya engkau diam, sebab diam itu menyingkirkan syaitan dan penolong bagimu dalam urusan agamamu.” (riwayat al-Baihaqi)
Semoga Allah merahmati Khalifah Umar bin Abdul Aziz ra, ketika beliau berkata:
إن السابقين عن علم وقفوا، وببصر نافذ قد كفوا، وكانوا هم أقوى على البحث لو بحثوا
“Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salaf al-Soleh) itu berhenti (tidak bersikap melampau) di atas dasar ilmu, mereka memiliki penelitian yang tajam (menembus) namun adakalanya mereka menahan dirinya (dari meneruskan sesuatu perbahasan) sekalipun mereka lebih mampu dalam membahas sesuatu perkara jika mereka ingin membahasnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar