Matematika Sedekah
Lepas dari motif apapun orang bersedekah—entah benar-benar ikhlas tanpa
pernah berpikir akan balasan-balasan yang bersifat ’duniawi’, atau
karena memang berharap ada balasan ’real dan langsung’ sesuai dengan
logika ’matematika sedekah’ tadi, atau karena memang ada hajat tertentu
(seperti ingin segera dapat jodoh, ingin segera punya momongan, ingin
segera naik pangkat, ingin segera sembuh dari suatu penyakit, ingin
sukses memenangkan order/proyek, ingin maju dalam bisnis, dll)—tentu
benar bahwa Allah SWT akan membalas amal sedekah kita berlipat ganda
(Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 261). Demikian pula yang dijelaskan
oleh Baginda Nabi saw. dalam banyak hadisnya.
Lalu salahkah jika kita bersedekah dengan berharap balasan berlipat
ganda sebagaimana yang telah Allah SWT janjikan? Tentu tidak. Namun,
jika bersedekah sebatas itu, biasanya: Pertama, sedekah yang dikeluarkan
hanyalah sebatas untuk mendapatkan ’balasan’ yang kita inginkan. Kedua,
tak selalu Allah membalas sedekah kita dengan balasan yang bersifat
duniawi sesuai dengan logika ’matematika sedekah’ di atas, karena boleh
jadi balasannya dalam bentuk lain yang tidak kita ketahui (Lihat:
Al-Haitsami Majma’ az-Zawa’id, V/282). Ketiga, pada saat Allah SWT
memberikan balasan tak sesuai dengan logika ’matematika sedekah’ di
atas, sangat mungkin kita akan kecewa.
Jadi, mesti bagaimana? Marilah kita simak keteladanan Rasulullah saw.
dan para Sahabatnya dalam bersedekah dan berinfak fi sabilillah di bawah
ini.
Suatu ketika, Baginda Nabi Muhammad saw. mendapat hadiah harta dari kaum
Fadak yang dibawa oleh empat ekor unta. Sebagian harta itu kemudian
beliau gunakan untuk bayar utang yang sudah jatuh tempo. Bilal segera
beliau tugasi untuk membayarkan utang tersebut, sementara beliau
menunggu di masjid.
Setelah seluruh utang itu dibayar, Bilal segera kembali menemui beliau.
Baginda Nabi saw. kemudian bertanya, “Masih adakah harta yang tersisa?”
“Ya, masih ada sedikit,” jawab Bilal.
Beliau lalu memerintahkan, “Bagikanlah harta itu sampai habis hingga aku
bisa merasa tenang. Aku tidak akan pulang ke rumah sebelum harta itu
dibagikan semuanya.”
Bilal pun pergi untuk membagi-bagikan harta yang tersisa kepada fakir
miskin. Selepas shalat isya, Baginda Nabi saw. bertanya lagi, “Masih
adakah harta yang tersisa?”
“Masih, karena belum ada lagi orang yang memerlukannya,” kata Bilal.
Baginda Nabi saw. kembali tidur di masjid. Keesokan harinya, beliau
bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama. Lalu dijawab oleh Bilal,
“Tidak ada, ya Rasulullah. Allah telah memberkati Anda dengan
ketenteraman jiwa. Semua harta itu telah habis dibagikan.”
(Al-Kandahlawi, Fadhâ’il al-A‘mâl, hlm. 576).
Bagaimana dengan Abu Bakar ra.? Semua tahu, Abu Bakar ra. adalah salah
seorang Sahabat yang paling banyak berkorban harta untuk kepentingan
dakwah dan jihad fi sabilillah. Sejak berhijrah bersama Rasulullah saw.,
sebagaimana diceritakan oleh Ibn Ishak, dari penuturan Asma ra., Abu
Bakar membawa seluruh hartanya sebanyak 6 ribu dirham, tentu untuk
keperluan perjuangan Islam.
Tengok pula Utsman bin Affan ra. yang juga terkenal karena pengorbanan
hartanya. Dalam Perang Tabuk beliau pernah menyumbangkan 100 ekor unta
dengan perlengkapannya (HR Ahmad). Bahkan menurut al-Baihaqi, itu ia
lakukan sampai tiga kali sehingga total 300 unta beserta perlengkapannya
(Lihat juga: Abu Nu’aim, Al-Hilyah, I/59).
Dalam kesempatan lain, Utsman bin Affan pernah menyumbang 10 ribu dinar
untuk membantu Pasukan al-Usrah. Jumlah itu setara dengan Rp 14,2 miliar
( 1 dinar = 1.420.000,-, Antam, 20/07/10). Di luar itu, Utsman ra.
pernah menyedekahkan lagi 1000 dinar untuk biaya Perang ‘al-Usrah (HR
al-Hakim) dan 700 uqyah emas (HR Abu Ya’la), juga 950 ekor unta dan 50
ekor kuda untuk Perang Tabuk (HR Ibn Asakir).
Tak kalah dengan Utsman ra., Abdurrahman bin Auf pernah menjual tanahnya
seharga 40 ribu dinar (kira-kira Rp 56,8 miliar). Seluruh hasil
penjualan tanah itu ia bagi-bagikan kepada fakir-miskin, termasuk kepada
para istri Nabi saw. (HR al-Hakim). Beliau pun pernah membebaskan
sebanyak 30 ribu budak wanita (HR Abu Nu’aim).
Pernah suatu saat Abdurrahman bin Auf datang ke Madinah sepulang
berdagang dari Syam dengan membawa 700 ekor unta beserta barang-barang
hasil dagangannya. Kabar tersebut sampai kepada Baginda Nabi saw. Beliau
lalu bersabda, “Aku melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dalam
keadaan merangkak.” Sabda Rasul ini sampai ke telinga Abddurahman bin
Auf. Ia lalu berkata, “Andai saja aku bisa masuk surga dengan cara
berjalan.” Seketika, tanpa pikir panjang, ia segera menyedekahkan
seluruh unta dan barang-barang hasil dagangannya itu yang baru saja tiba
di Madinah (HR Ahmad).
Demikianlah fenomena sedekah Baginda Nabi saw. dan para Sahabat yang
mulia di atas. Mereka bersedekah seperti orang yang tak pernah takut
miskin. Sebaliknya, mereka jor-joran bersedekah justru karena takut
banyaknya harta malah menjadi beban di akhirat. Mereka tak sempat lagi
memikirkan tentang balasan yang bakal Allah berikan, apalagi sekadar
balasan duniawi berdasarkan ‘matematika sedekah’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar